Di pinggiran kota, bertengger dua ekor burung dara dengan sayap putih bersih. Sepasang cakarnya menggenggam mantap kabel-kabel panjang dekat tiang listrik.
Sudut itu adalah tempat favorit. Mereka dengan jelas bisa mengamati manusia-manusia yang hilir mudik melintas, atau sekedar nongkrong di pinggir jalan menghembuskan asap rokok yang mencemari udara.
"Hei, jangan terlalu banyak melamun!", Sahut si betina.
Si jantan menoleh, "Aku beruntung ditakdirkan menjadi burung dara"
"Karena?"
"Karena burung dara mampu mengamati, mampu mengomentari, tanpa takut akan hisab akhirat kelak"
Si betina tertawa mendengar jawaban si jantan. "Tiba-tiba berpikir sangat bijaksana? Itu tak terdengar seperti kau"
"Tadi pagi aku bertengger di atas pasar. Kau lihat lelaki dengan jaket denim dan celana coklat itu? Pagi tadi ia mencuri sebuah sepeda motor. Sore ini ia tertawa, nongkrong ceria bersama rekan geng nya dan mengepulkan asap rokok. Tak berpikirkah ia telah merampas hak milik orang lain? Tak ada manusia lain yang melihat. Tapi aku mengamati. Aku akan jadi saksi di pengadilan Tuhan nanti"
"Haha. Lelaki itu tidak berpikir bahwa seekor burung dara dekil sepertimu akan mampu menjerumuskanya ke neraka"
"Dekil? Apa aku dekil? Aku dekil tapi mampu membuatmu jatuh hati kan?", Canda si jantan.
Si betina bersungut-sungut. Tanpa bicara ia menikmati sore. Tak mempedulikan canda si jantan yang menurutnya tak lucu.
***
Seminggu kemudian di tempat yang sama. Keduanya bertengger santai. Mengobrol untuk sekedar saling menghargai. Saling memahami.
"Aku mendengar dari burung camar, jika kita terus berjalan ke selatan akan ada sebuah padang rumput yang luas. Bunga-bunganya mekar dan wangi. Mereka berwarna kuning pucat, merah pucat, dan segala sesuatu yang pucat. Kita akan tenang, tak diburu, tak dilempari batu. Kau ingin kesana?", Ajak si betina.
"Kau tahu, aku mendambakan sebuah tempat bernama laut. Di atas hamparan biru tak bertepi itu aku bisa bebas. Menikmati angin dan awan yang bertabrakan. Juga semua yang berwarna biru sejuk. Aku ingin kesana. Itu ada di utara", Jawab si jantan.
Keduanya terdiam. Menempati jarak jarak yang diukur rapi, presisi. Jarak-jarak yang mampu memisahkan mereka dengan telak meski raga saling berdampingan.
Keduanya menyadari perbedaan yang begitu signifikan. Mencoreng dengan sadis kebersamaan yang selama ini digapai. Meski sama-sama serius memikirkan masa depan, tujuan keduanya berbeda. Si betina menginginkan ketenangan. Si jantan menginginkan kebebasan.
Si jantan, si betina. Hanya dua ekor burung dara. Bukan sepasang burung dara. Lamunan-lamunan tentang manusia yang seragam, pemikiran akan hari esok yang sejalan, tetap saja tak mampu mengalahkan ego yang berapi dalam diri. Masih di keheningan keduanya berpikir hingga malam melarut dalam gelap.
Esoknya si betina terbang ke selatan. Ia pamit dengan kesedihan yang luar biasa mencekik. Tapi senyum di bibirnya semanis sodium saccharine. Si jantan membalas senyuman itu dengan anggukan enggan. Dengan mata terpicing Ia mengamati kepakan sayap dan liukan tubuh si betina yang anggun. Dalam hati Ia mengutuki dirinya untuk tidak merasakan emosi. Kehilangan, penyesalan atau apapun itu. Namun si betina tetap pergi, enyah selamanya dari hidupnya, dari radius tatapanya.
Si jantan tetap diam di tempat, bersiap diri untuk esok hari yang entah kapan terbang ke utara menuju kebebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar