Sabtu, 02 Juli 2016

Lentera Harapan

Nyanyian kecil menghiasi sudut taman. Pohon ek berdiri gagah, berwibawa. Akarnya menusuk perut bumi. Rantingnya menggapai udara.

Di tangan kananku tergenggam lentera. Lampunya berkedip merah muda. Lamat-lamat senyum tersungging di sudut mulut. Aku sedang bahagia. Berlari kecil kuambil sebuah tangga di gudang bawah tanah. Tergopoh, kusandarkan kaki tangga pada batang pohon ek. Di ranting paling bawah, kugantung lentera pertama. Merah muda.

Bibir ini masih tersenyum. Merekah. Merah darah. Seperti lentera kedua yang kugantung di ranting pohon ek. Merah darah.

Waktu akhirnya mengikis kebahagiaan. Kaki ini gontai, baru saja aku menangis. Mataku tertunduk, tak ingin menerawang kemanapun. Kunaiki tangga perlahan, mendapati lentera merah muda mulai meredup. Kubiarkan saja disana lalu kugantung lentera baru. Kuning gading.

Sekali lagi kupandangi pohon ek. Ia masih gagah. Memandangnya membuat apa yang ada di dalam hati terasa stabil. Tak ada lagi senandung, tawa maupun tangis. Hanya kepasrahan sempurna yang nyaris tak logis bagi ahli matematis. Lentera hijau di genggaman. Kugantung dengan perasaan yang telah hilang rasa.

Tanganku tergenggam di belakang. Mata memandang lurus tanpa sentuhan rasa. Ada senyum tipis yang tak selalu berarti bahagia. Di ranting pohon ek, lentera merah muda dan merah darah telah kehilangan cahayanya. Kuning gading meredup, sementara si hijau masih menyala terang.

Kutunggu hingga terkantuk. Hingga kaki pegal kesemutan. Meski sebagian cahaya lentera pergi, sisa binar-binarnya masih kuhargai. Kunikmati waktu. Kutunggu satu-satu harapan hilang meredup menyerap sang masa.

Terkadang orang-orang lewat menertawakan, atau sekedar pamer membawa serta lampu taman yang terang benderang. Kebanyakan dari mereka bertanya, "Sedang apa?" atau "Menunggu apa?". Dan tawa akan semakin meledak ketika kujawab, "Menunggu lentera meredup".

Mereka bilang aku bodoh.

Tapi aku tahu betul apa yang kulakukan.

Kusadari yang tersisa pun akan hilang. Redup digerogoti waktu. Dan jika semua cahaya lentera benar-benar hilang akan kupasrahkan rasa, hingga dada ini penuh dengan bisikan  kemenangan meski orang lain berteriak aku kalah telak.

Kan kupeluk pohon ek. Yang akan tetap gagah meski cahaya telah mati. Aku akan berlari sekencangnya, membebaskan rasa-rasa yang menempel memberi rasa gatal.

Aku akan terus berlari. Dan pulang.

Mungkin untuk menghidupkan lilin-lilin kecil di sudut perapian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar