Selasa, 26 Juli 2016

Merantau ke Masa Lalu

Teman-teman gila mungkin saja membuat tawa lepas tak terkendali. Foto-foto di setiap sudut kafe, juga chocolate cake yang rasanya masih menempel manis di bibir.

Kemudian travelling. Bersama kawan semua tempat seperti tak pernah habis untuk dijelajahi. Gunung, pantai, tebing, bahkan hutan matipun sempat kita pijak, menjadi sebuah tempat eksotis yang tak pernah terlupa.

Pria-pria tak beraroma datang silih berganti. Mereka menawarkan sebuah kotak terbungkus manis yang mungkin saja berisi kecoak.

Ada satu yang menarik hati. Bersamanya aku pergi ke bulan, kemudian dari bulan ia jatuhkan aku ke bumi. Sesekali ia mengajak lagi pergi ke bulan, juga menjatuhkan aku lagi dari ketinggian. Bagi kami ini permainan. Aku menikmati pergi ke bulan bersamanya seperti juga ia menikmati menjatuhkan aku dari ketinggian.

Ada pepatah mengatakan bahwa cara menghadapi patah hati adalah dengan hobby.
Maka aku memanggang kue. Menjahit dress. Mewarnai treasure book. Membaca novel Agatha Christie. Menulis puisi. Pergi ke sanggar aerobik. Oke, kegiatan itu cukup mengisi. Tak pernah ada yang kutekuni sebab rasanya begitu membingungkan memiliki terlalu banyak hobby.

Mendekatkan diri itu sangat berarti. Pergi ke masjid, mendengarkan nasehat ulama seperti oase di gurun pasir. Namun jika iman sedikit tergoyah, tengah malam mata tetap tak terpejam. Menangisi kekosongan kecil yang bahkan terlalu kecil untuk diperhatikan. Ah, mungkin masih saja diri ini kurang dekat. Kurang. Sangat kurang.

Maka sesedikit aku merangkak ke masa lalu. Tempat sekotak bunga mawar dulu digenggaman. Tempat egoisme memuncak, merusak citarasa klasik yang amat sempurna.

Terkadang bilik bambu di sudut hati terketuk, menyadarkan logika bahwa kemarin adalah lalu,  bahwa semua adalah proses menuju kematangan jiwa.

Bergeraklah maju. Menengok sedikit sepertinya tak apa jika dinding hati sudah kuat terlapis beton. Merantaulah ke masa lalu, namun jangan lupa untuk pulang lagi.

Karena tempat kita nanti di sana. Di masa depan.

Jumat, 22 Juli 2016

Kotak Senja (Part II)

Waktu berlari secepat kilat. Mereka musuh manusia. Mereka selalu meninggalkan. Namun awan senja saat itu berbinar oranye, tersenyum ceria seolah tak peduli kesialan apa yang menimpa manusia yang disebabkan oleh waktu.

"Aku lolos seleksi beasiswa ke Massachusetts, Wan", Sahut Senja dengan senyum terkembang.

"Beneran? Syukurlah, aku seneng", Jawab Awan seraya membelai lembut rambut Senja.

Senyum Senja makin berkembang, seolah tak peduli kesedihan apa yang menimpa Awan saat ini.

Ia telah kehilangan kedua orang tuanya, juga adik dan kakaknya. Ini kehilangan yang berat.

Ia akan kehilangan Senja, semangat hidupnya.
###

Hari itu terjadi juga. Hari ketika Awan membawa koper besar milik Senja. Di bandara mereka berpelukan. Senja menangis. Awan menahan tangis. Ketika pelukan mereka merenggang Senja merogoh tas kulit miliknya dan menyerahkan kotak berlapis beludru merah marun yang terlihat usang.

"Ibuku meninggal ketika aku mengambil gelar Ners-ku di semester pertama. Ini adalah satu-satunya peninggalan beliau yang paling berharga. Aku titip ya Wan... Jangan pernah dibuka"

"Kenapa?", Tanya Awan

"Karena kalau kamu tahu apa isinya, aku jamin kamu akan ninggalin aku, Wan...", Jawab Senja masih dengan isak tangis.

Awan tersenyum, "Aku janji ga akan buka"
###

Pesawat sudah lepas landas kemudian detik dan menit bahkan dekade rasanya berjalan begitu cepat. Komunikasi Awan dan Senja tak pernah terputus. Mereka tak pernah tak baik-baik saja.

Malam itu Awan tiba-tiba teringat kata-kata Senja di bandara. Rasanya konyol kalau Ia harus meninggalkan belahan jiwanya hanya karena mengetahui isi kotak Senja.

Namun entah mengapa rasa penasaran Awan menggelayut di pundaknya, memberatkan, menyakitkan.

Dengan tergesa Awan membuka kotak itu dan mendapati secarik kertas di dalamnya.

"Awan, aku tahu suatu saat kau akan membuka kotak ini. Benda yang ada di kotak ini milik ibuku, aku mengambilnya di hari kematian ibu. Aku hanya ingin sekali memiliki kenang-kenangan tak ternilai dari ibu.
Awan, jika milikmu tak lagi berharga, aku dengan senang hati menjadikanha kenang-kenangan untukku"

Sekali lagi, Awan melirik ke dalam kotak yang dipegangnya. Ia tercengang, rasa kaget menguasainya seolah Awan terkena serangan jantung. Secara refleks Awan melempar kotak itu.

Isinya berhamburan ke luar.

Pergelangan tangan yang diawetkan.

Kamis, 21 Juli 2016

Kotak Senja

Senja muncul di tempat yang mataharinya berwarna jingga. Di pangkuanya kotak berlapis belurdru warna merah marun terbuka lebar. Senja memandang isinya dengan berbinar, ia merasakan semua keraguanya lepas tak berbekas.

Di seberang sana Awan tertunduk resah menatap wallpaper smartphone miliknya. Seorang wanita berambut sebahu dengan seragam serba putih. Itu foto Senja. Satu bulan lagi mereka berpisah, dan itu membuat Awan tak bisa tidur akhir-akhir ini.

Awan ingat ketika pertama kalinya ia memandangi wajah wanita itu. Tangan kananya diinfus. Tangan kirinya diperban. Awan hampir kehabisan darah dan ia merasakan pusing yang sangat. Ketika ia memiliki cukup tenaga untuk membuka mata, seorang perawat menghampirinya.

Perawat itu menunjukan pergelangan tanganya seraya berkata,"Sulit sekali mendapatkan donor darah golongan AB". Dipandanginya tangan kiri Awan dengan tatapan sinis. Awan juga memandangi tanganya yang dibalut perban. Percobaan bunuh diri gagal. Lagi.

Senin, 11 Juli 2016

Tak Ada Genderuwo di Luar Jendela

Gigitan nyamuk menyisakan bekas merah, gatal dan selalu minta digaruk.

Kuku tangan anak itu panjang. Ada bekas borok,  goresan-goresan luka akibat tangan anak itu tak tahan menggaruk gatalnya gigitan nyamuk.

Anak itu berpikir keras, berpikir tentang sakitnya kehilangan, juga masa lalu yang berdesir memutar dalam otak. Tingkat waspadanya kian tinggi,namun juga kian menggerogoti akal sehat.

Tak dihiraukanya kecoak yang berlari melintas tepat di hadapanya.

Juga suara ketukan di pintu sejak semenit lalu.

"Makan dulu nak, ibu siapkan nasi goreng untukmu", Sahut suara di balik pintu.

Anak itu juga tak menghiraukan suara itu, hanya aroma gurih yang membantunya membuka pintu kamar yang gelap.

Sang ibu kembali lima menit kemudian, mendapati anaknya melahap nasi goreng dengan kedua tanganya yang berkuku panjang. Ia mengelus rambut, melihat mata sang suami di tatapan anak itu.

Hampir saja air mata sang ibu menetes sebelum ia berpikir dalam hati, "Anak ini masih berumur sebelas. Ia sama sekali tak pantas melihat air mata jatuh banyak-banyak setelah kepergian ayahnya di medan perang"

Sambil menjilati jari tanganya yang masih terasa gurih, anak itu masuk ke dalam kamar. Ia hendak menutup pintu ketika sang ibu menengok ke dalam kamarnya.

"Kamarmu gelap nak. Jika tak ingin menyalakan lentera tengoklah ke luar jendela. Takkan ada genderuwo di sana"

Anak itu tersenyum simpul. Ia melangkahkan kaki ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Ia ingat malam dimana ayah dan ibunya tidur berjajar di ranjang yang sempit. Ia masih ingin bermain petak umpet di luar rumah, sesekali menengok ke jendela untuk menentukan tempat persembunyian yang pas. Tapi sang ayah menakutinya, "Kalau main malam-malam nanti diculik genderuwo. Mereka makhluk berambut panjang, jahat dan mengerikan!". Anak itu bergidik dan pergi tidur. Sejak saat itu ia tak pernah lagi berani menengok ke jendela di malam hari.

Tapi saat ini kenangan itu membuatnya semakin frustasi saja. Di pikiranya tergambar jelas sosok ayahnya yang seorang tentara. Tubuhnya tinggi tegap. Ia tak hanya pahlawan bagi negara tapi juga panutan terhebat dalam keluarga. Anak itu memejamkan matanya dan hampir saja tertidur ketika suara bedebam keras memacu adrenalinya.

"Lari nak! Lari ke luar jendela!!!", Suara sang ibu disertai jerit dan tangis.

Langkah kaki terdengar dari luar kamar. Jeritan ibu sudah tak ada lagi. Dengan kasar dua orang serdadu asing memasuki kamarnya yang gelap. Mereka menyalakan cahaya, sisa darah segar menempel di seragam keduanya. Anyir. Hangat. Berkilauan.

Anak itu menengok ke luar jendela. Tak ada genderuwo di luar sana.

Mereka di sini, sosok mengerikan berlumuran darah ada di sini.

Genderuwo ada di dalam kamarnya.

Sabtu, 09 Juli 2016

Dikuasai Api

Di sebuah serial animasi dengan anak kecil botak bertanda panah di kepalanya, diceritakan bahwa keseimbangan alam dirusak oleh negara api.

Kenapa harus api?

Bukan air?

Bukan tanah?

Bukan udara?

Sebagian manusia juga percaya bahwa balasan bagi kejahatan manusia di muka bumi adalah neraka-yang bahan dasarnya adalah api.

Api.

Api.

Lagi-lagi api.

Api telah menjadi simbol kerusakan. Mereka menghanguskan, merampas, membuat yang awalnya indah menjadi sisa abu yang perih di mata.

Tapi tahukah kita bahwa di dalam tubuh ini tersimpan api, mereka terbungkus apik dalam jaket antipanas, menyala dengan tenang dan aman, menghangatkan tubuh yang lelah kehilangan gairah.

Api itu emosi, keinginan, luapan perasaan terdalam yang terkubur rapi di sudut hati.

Hati-hati menjaga api. Di dalam nyalanya yang redup ia menghangatkan, di dalam nyalanya yang terang ia menghancurkan.

Ketika menghancurkan api itu akan menyebar, menjalar dari hati ke empedu, ke otak, ke paru-paru. Tanpa ampun mereka menghanguskan akal sehat, mengaburkan logika. Kita bisa kehilangan diri sendiri ketika panas api telah sampai pada titik ini.

Kepada Sang Pengendali Api, berdoalah. Berdoa agar Ia senantiasa menjaga api dalam diri kita tetap redup menghangatkan.

Kamis, 07 Juli 2016

Si Jantan, Si Betina

Di pinggiran kota, bertengger dua ekor burung dara dengan sayap putih bersih. Sepasang cakarnya menggenggam mantap kabel-kabel panjang dekat tiang listrik.

Sudut itu adalah tempat favorit. Mereka dengan jelas bisa mengamati manusia-manusia yang hilir mudik melintas, atau sekedar nongkrong di pinggir jalan menghembuskan asap rokok yang mencemari udara.

"Hei, jangan terlalu banyak melamun!", Sahut si betina.

Si jantan menoleh, "Aku beruntung ditakdirkan menjadi burung dara"

"Karena?"

"Karena burung dara mampu mengamati, mampu mengomentari, tanpa takut akan hisab akhirat kelak"

Si betina tertawa mendengar jawaban si jantan. "Tiba-tiba berpikir sangat bijaksana? Itu tak terdengar seperti kau"

"Tadi pagi aku bertengger di atas pasar. Kau lihat lelaki dengan jaket denim dan celana coklat itu? Pagi tadi ia mencuri sebuah sepeda motor. Sore ini ia tertawa, nongkrong ceria bersama rekan geng nya dan mengepulkan asap rokok. Tak berpikirkah ia telah merampas hak milik orang lain? Tak ada manusia lain yang melihat. Tapi aku mengamati. Aku akan jadi saksi di pengadilan Tuhan nanti"

"Haha. Lelaki itu tidak berpikir bahwa seekor burung dara dekil sepertimu akan mampu menjerumuskanya ke neraka"

"Dekil? Apa aku dekil? Aku dekil tapi mampu membuatmu jatuh hati kan?", Canda si jantan.

Si betina bersungut-sungut. Tanpa bicara ia menikmati sore. Tak mempedulikan canda si jantan yang menurutnya tak lucu.

***

Seminggu kemudian di tempat yang sama. Keduanya bertengger santai. Mengobrol untuk sekedar saling menghargai. Saling memahami.

"Aku mendengar dari burung camar, jika kita terus berjalan ke selatan akan ada sebuah padang rumput yang luas. Bunga-bunganya mekar dan wangi. Mereka berwarna kuning pucat, merah pucat, dan segala sesuatu yang pucat. Kita akan tenang, tak diburu, tak dilempari batu. Kau ingin kesana?", Ajak si betina.

"Kau tahu, aku mendambakan sebuah tempat bernama laut. Di atas hamparan biru tak bertepi itu aku bisa bebas. Menikmati angin dan awan yang bertabrakan. Juga semua yang berwarna biru sejuk. Aku ingin kesana. Itu ada di utara", Jawab si jantan.

Keduanya terdiam. Menempati jarak jarak yang diukur rapi, presisi. Jarak-jarak yang mampu memisahkan mereka dengan telak meski raga saling berdampingan.

Keduanya menyadari perbedaan yang begitu signifikan. Mencoreng dengan sadis kebersamaan yang selama ini digapai. Meski sama-sama serius memikirkan masa depan, tujuan keduanya berbeda. Si betina menginginkan ketenangan. Si jantan menginginkan kebebasan.

Si jantan, si betina. Hanya dua ekor burung dara. Bukan sepasang burung dara. Lamunan-lamunan tentang manusia yang seragam, pemikiran akan hari esok yang sejalan, tetap saja tak mampu mengalahkan ego yang berapi dalam diri. Masih di keheningan keduanya berpikir hingga malam melarut dalam gelap.

Esoknya si betina terbang ke selatan. Ia pamit dengan kesedihan yang luar biasa mencekik. Tapi senyum di bibirnya semanis sodium saccharine. Si jantan membalas senyuman itu dengan anggukan enggan. Dengan mata terpicing Ia mengamati kepakan sayap dan liukan tubuh si betina yang anggun. Dalam hati Ia mengutuki dirinya untuk tidak merasakan emosi. Kehilangan, penyesalan atau apapun itu. Namun si betina tetap pergi, enyah selamanya dari hidupnya, dari radius tatapanya.

Si jantan tetap diam di tempat, bersiap diri untuk esok hari yang entah kapan terbang ke utara menuju kebebasan.

Sabtu, 02 Juli 2016

Lentera Harapan

Nyanyian kecil menghiasi sudut taman. Pohon ek berdiri gagah, berwibawa. Akarnya menusuk perut bumi. Rantingnya menggapai udara.

Di tangan kananku tergenggam lentera. Lampunya berkedip merah muda. Lamat-lamat senyum tersungging di sudut mulut. Aku sedang bahagia. Berlari kecil kuambil sebuah tangga di gudang bawah tanah. Tergopoh, kusandarkan kaki tangga pada batang pohon ek. Di ranting paling bawah, kugantung lentera pertama. Merah muda.

Bibir ini masih tersenyum. Merekah. Merah darah. Seperti lentera kedua yang kugantung di ranting pohon ek. Merah darah.

Waktu akhirnya mengikis kebahagiaan. Kaki ini gontai, baru saja aku menangis. Mataku tertunduk, tak ingin menerawang kemanapun. Kunaiki tangga perlahan, mendapati lentera merah muda mulai meredup. Kubiarkan saja disana lalu kugantung lentera baru. Kuning gading.

Sekali lagi kupandangi pohon ek. Ia masih gagah. Memandangnya membuat apa yang ada di dalam hati terasa stabil. Tak ada lagi senandung, tawa maupun tangis. Hanya kepasrahan sempurna yang nyaris tak logis bagi ahli matematis. Lentera hijau di genggaman. Kugantung dengan perasaan yang telah hilang rasa.

Tanganku tergenggam di belakang. Mata memandang lurus tanpa sentuhan rasa. Ada senyum tipis yang tak selalu berarti bahagia. Di ranting pohon ek, lentera merah muda dan merah darah telah kehilangan cahayanya. Kuning gading meredup, sementara si hijau masih menyala terang.

Kutunggu hingga terkantuk. Hingga kaki pegal kesemutan. Meski sebagian cahaya lentera pergi, sisa binar-binarnya masih kuhargai. Kunikmati waktu. Kutunggu satu-satu harapan hilang meredup menyerap sang masa.

Terkadang orang-orang lewat menertawakan, atau sekedar pamer membawa serta lampu taman yang terang benderang. Kebanyakan dari mereka bertanya, "Sedang apa?" atau "Menunggu apa?". Dan tawa akan semakin meledak ketika kujawab, "Menunggu lentera meredup".

Mereka bilang aku bodoh.

Tapi aku tahu betul apa yang kulakukan.

Kusadari yang tersisa pun akan hilang. Redup digerogoti waktu. Dan jika semua cahaya lentera benar-benar hilang akan kupasrahkan rasa, hingga dada ini penuh dengan bisikan  kemenangan meski orang lain berteriak aku kalah telak.

Kan kupeluk pohon ek. Yang akan tetap gagah meski cahaya telah mati. Aku akan berlari sekencangnya, membebaskan rasa-rasa yang menempel memberi rasa gatal.

Aku akan terus berlari. Dan pulang.

Mungkin untuk menghidupkan lilin-lilin kecil di sudut perapian.