Senin, 13 Juni 2016

Tahi Lalat di Dagu

Aku kira kulitmu putih bersih. Kemudian saat kita bergandengan ada warna terang yang menyaingi kulit langsatku.
Ternyata kau coklat. Warna sempurna simbol kemaskulinan seorang pria. Baumu manis. Rasamu manis. Hanya kepingan kisah kita yang tak terlalu manis.
Kita tertipu. Oleh harum, rasa coklat yang manis. Coklat itu sejatinya pahit. Pahang. Begitukah orang tua mendidik kita? Merasakan manis yang seharusnya terasa pahit.
Sekali lagi kupandangi wajahmu. Bukan. Bukan silhuet tipis dengan nilai delapan koma lima dari sepuluh. Bukan bahasa congkak yang dikulum manis di bibirmu. Bukan kepongahan mahabesar yang menutupi cahaya kecil di hatimu. Kadang, mual perut ini ketika kau sebut dirimu tampan.
Bukan itu, sayang. Tapi apa yang ada di dalam matamu. Seni tertinggi untuk seorang penggemar seni.
Sekali lagi kutatap wajahmu. Kau diam. Memang itu keanggunan terbesarmu. Kuamati tahi lalat di dagumu.
Orang bilang, jika ada tahi lalat di dagu menandakan bahwa ia cerewet.
Itu tak selalu benar.

Jumat, 03 Juni 2016

Puisi untuk Kau

Yang teriris, mungkin bukan hati.
Tapi rasa-rasa yang mengambang,
Tipis, ringan tak beraroma.
Sepi senja bersenda gurau,
Tertawa atas tawanan langit
Yang turun menjejak rasa yang tipis tadi
Lalu terseok jatuh
Terperosok hingga ke dasar
Dalam, gelap, pengap

Tunggu matahari
Biar silaunya membutakan mata
Biar terang menjelajahi asa
Atau setidaknya,
Biar hangatnya menyusup

Ke dalam tubuh yang lelah
Lelah untuk berusaha
Berusaha untuk berhenti
Berhenti untuk kau